Perempuan Seperti Ini, Sama Sekali Tidak Anggun
- Post AuthorBy Hanajime Gandis
- Post DateFri Mar 30 2018
Setiap minggu saya cukup sering main-main ke CFD (Car Free Day) sekadar untuk jalan santai sambil terkena sinar matahari atau mengikuti senam gratis yang ada di sana. Ketika saya berkunjung, selalu ada saja ulah orang-orang. Mulai dari menyalah gunakan event ini untuk mejeng, bukannya berolahraga, sampai hal aneh. Para ABG tanggung menertawakan penjual-penjual tua dengan barang dagangan kampungan seperti ubi. Saya mengernyitkan dahi.
Kasus berbeda akhirnya saya temui. Kejadiannya tergolong sepele, tapi membuat saya bertanya-tanya tentang batasan kata anggun untuk seorang perempuan.
Saya memang cupu, bingung-bingung soal sampah bekas makanan. Tinggal buang, beres. Toh, di tempat umum. Nanti pasti ada petugas yang membersihkan. Makanya, saya selalu kesal kalau ada orang seperti itu. Tidak jarang saya langsung mengumpat. Apa susahnya sih membawanya sebentar sampai bertemu tempatnya? Kalau tidak ada, bawa pulang. Sederhana sekali bukan untuk membuat lingkungan lebih bersih?
Bisa ditebak kekesalan saya tersebut makin bertambah kalau orang yang berjalan di depan membuang sampah seenaknya dan mengenai kaki saya. Kehilangan kontrol seketika. Namun, karena memang merasa bersalah, dia pura-pura tidak mendengar ucapan saya. Dia malah berbicara dengan temannya untuk mendapatkan pembelaan. Dia bilang malulah cewek bawa-bawa sampah.
Padahal, membuang sampah pada tempatnya lebih terhormat, ketimbang memilih menyelamatkan imej seperti itu.
Di lain tempat, masih di CFD, saya dibuat miris oleh seorang mbak-mbak berjilbab dengan gaya bicara yang lembut. Dia mau membeli otak-otak seperti saya, tapi pakai acara ‘babibu’ terlebih dahulu. Saya saja sampai heran. Akhirnya kurang sreg, dia hampir tidak jadi. Mungkin, karena kepalang malu, belilah dua ribu saja.
Apa gunanya berbicara lembut kalau mengecewakan orang lain? Hidup bukan hanya seorang diri, tapi ada interaksi. Pedagang keliling seperti itu labanya tidak seberapa, apalagi semisal ada dagangan yang tidak habis. Kalau membeli dengan nominal lebih pantas, nah baru akan dirasakan juga oleh lawan bicara.
Mengasihi adalah kelembutan sejati, karena ada unsur empati di dalamnya.
Dari dua kasus tersebut, benang merahnya adalah mereka ingin terlihat anggun sebagai seorang perempuan. Namun, menurut saya cara itu gagal.
Kita tidak lagi tinggal di zaman kerajaan, jadi tolok ukur anggun tidak hanya dinilai dari penampilan seperti seorang putri. Sebagai orang biasa, rakyat jelata, harus ada tindakan konkrit. Anggun, tapi diumpat orang? Tidak ada korelasinya.
Perempuan akan terlihat anggun kalau orang lain bisa bersimpati padanya, entah melalui tindakan apa pun. Mindset rok atau sepatu ber-hak sudah terlalu kuno. Memangnya mau disamakan dengan boneka Barbie yang mempunyai gaya seperti itu?
Di sisi lain, aspek individual wellness (kebaikan individu) setiap orang meliputi spiritual, emosional, intelektual, fisik, sosial, environmental (lingkungan), dan financial (keuangan). Dengan menciptakan keanggunan melalui tindakan konkrit tersebut, secara tidak langsung kita sudah peduli terhadap diri sendiri pada poin tiga, lima, dan enam.
Jadi Ladies, menjaga penampilan dan gaya bicara saja tidak cukup menunjangmu sebagai perempuan yang anggun. Sikap baik bisa mengalahkan dua aspek tersebut, karena orang lain tidak sepenuhnya ingin “dimanjakan,” tapi juga mendapat “kebutuhan.”
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)