Pernikahan Dini, Jalan Pintas Yang Berbatas
- Post AuthorBy Margaretha Diana
- Post DateFri Jul 06 2018
Sebut saja namanya Sekar, gadis remaja ini baru saja lulus SMP, dan ia tak melanjutkan sekolahnya, dengan alasan keterbatasan biaya. Ibunya seorang petani jamur, sementara ayahnya, jarang pulang ke rumahnya, bekerja sebagai penarik becak, di dekat stasiun Pocol, Semarang. Kami mengobrol lumayan lama, sembari menikmati semangkuk soto di Pasar Ambarawa, sementara ibunya sibuk menyetorkan jamur ke beberapa pedagang yang biasa membeli jamur darinya.
Sewaktu saya tanya, apa ngga pengen melanjutkan sekolahnya, ia hanya tertawa saja. Belakangan lewat beranda sosial medianya, saya menemukan sesuatu yang menggelitik. Lain dari cerita ibunya, bahwa putri sulungnya ini tak mempunyai teman laki-laki, Sekar ternyata cukup intens berkomunikasi dengan seorang laki-laki yang ia tulis sebagai ‘suami dunia akherat’, di laman media sosialnya.
Di beranda akun media sosialnya yang disetting publik, terbaca jelas bagaimana muda mudi ini asyik berbalas kata dan kalimat rindu. Bahkan ada beberapa foto-foto yang diunggah Sekar di laman media sosialnya, dengan pose yang cukup berani untuk gadis remaja seusianya. Yang tentu saja, menuai banyak komentar dari para lelaki, baik yang sopan maupun yang cenderung kurang ajar.
Tak hanya satu, atau dua foto yang dia unggah, yang memamerkan secara jelas, bentuk badan serta belahan dadanya. Belum lagi beberapa foto juga, yang memamerkan kemesraannya dengan lelaki yang ia sebut pacar tersebut.
Usia Sekar, berada di angka 15 tahun, baru awal tahun depan, ia berusia 16 tahun. Namun dengan yakin, ia berkata, bahwa tak lama lagi, ia akan menikah dengan lelakinya, sama dengan kawan sepermainannya, yang telah menikah terlebih dahulu, awal tahun kemarin. Kawan sepermainannya ini berusia satu tahun lebih tua daripada Sekar. Namun ia telah menikah, dinikahkan oleh kedua orangtuanya.
Itulah salah satu alasan mengapa Sekar enggan melanjutkan sekolahnya lagi,
“Mending nikah mbak, ngga puyeng mikir sekolah, tinggal duduk dirumah, ngurus anak dan suami. Sekolah tinggi-tinggi nanti ya percuma, kalau ngga bisa jadi pegawai, trus kalau sekolah tinggi-tinggi, biasanya laki-laki juga takut ngelamar. Bisa-bisa aku jadi perawan tua.”
Di lingkungan Sekar, menurut beberapa orang yang saya temui, memang hal tersebut dianggap wajar. Anak perempuan, hanya sekolah sekedarnya, sebatas bisa membaca, menulis dan berhitung mengenal angka, itu sudah cukup, tak perlu bersekolah tinggi-tinggi. Karena toh nanti perempuan, tetap saja, pekerjaannya ya hanya berkutat di area dapur, sumur dan kasur saja.
Fenomena menikah muda, di beberapa daerah seputar Semarang ini, masih dianggap sebagai suatu kewajaran, pun masih marak dilakukan. Para remaja perempuan ini, lebih memilih untuk menikah ketimbang sekolah. Dan sayangnya, hal ini pun didukung oleh keluarga mereka. Para orangtua, akan senang dan bangga, saat anak gadisnya dilamar orang, sebelum menginjak usia 20 tahun.
Mereka, para orangtua ini, mempunyai kebanggaan tersendiri, saat anak gadisnya “laku” sebelum menjadi perawan tua. Tak perduli yang menikahi itu punya pekerjaan tetap atau tidak, pengangguran atau bukan, yang penting menikah dulu, rejeki urusan belakangan, bisa dicari di kemudian hari.
Dan lucunya, batasan umur untuk masuk kategori perawan tua pun, ternyata masih amat sangat muda. Bagi mereka, anak perawan yang berumur 20 tahun, sudah menjadi pr merah yang harus segera dicarikan jodoh, lalu dinikahkan secepat mungkin.
Jangan harap bisa duduk manis di depan televisi, jika anda berusia 25 tahun, dan belum menikah. Dijamin anda akan menjadi bahan gosiip para tetangga, juga keluhan dari orangtua, serta saudara, yang menganggap anda aib, karena belum juga “laku”, diboyong menjadi istri orang.
Hal ini pulalah, yang sempat terjadi pada Luthfiana Ulfa, gadis cilik yang sempat menjadi sorotan publik, karena pernikahannya dengan Syekh Puji, dari Jambu, Ambarawa.
Ulfa dinikahi Syekh Puji, di usia yang masih teramat belia. Namun kedua orangtua Ulfa, justru bangga, karena anaknya terpilih, menjadi salah satu istri Syekh Puji, yang memang terkenal kaya di daerah Ambarawa. Mereka, orangtua Ulfa, merasa pernikahan gadis cilik mereka dengan Syekh Puji wajar saja, biasa saja, meski jelas jurang umur diantara keduanya amat besar, belum lagi, pada saat itu, Ulfa bahkan belum berumur 16 tahun, sesuai dengan batas minimum anak perempuan yang boleh menikah.
Faktor ekonomi, seringkali menjadi alasan para orangtua, untuk segera menikahkan anak-anaknya. Agar si anak keluar dari rumah, tak lagi menjadi tanggungan orangtuanya. Namun faktor ekonomi pulalah, yang seringkali menjadi penyebab utama berakhirnya pernikahan mereka.
Umur yang belum cukup, emosi yang masih stabil, terbatasnya lapangan pekerjaan dikarenakan minimnya pendidikan, pada akhirnya menjadi pemicu, berakhirnya sebuah ikatan pernikahan. Dan pada akhirnya, menambah pr baru bagi masyarakat, juga pemerintah. Yaitu banyaknya janda, para korban perceraian, yang tak mempunyai skill yang memadai untuk bekerja secara profesional.
Para janda ini, pada akhirnya hanya mampu bekerja di sektor informal saja, yang jelas masih jauh dari kata cukup, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beserta anak-anaknya.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)