Resensi Novel Tempurung, Takdir Anak Pelacur
- Post AuthorBy Novela
- Post DateFri Jan 12 2018
Judul : Tempurung
Penulis : Oka Rusmini
Tebal : 404 halaman
Penerbit : Grasindo
Novel Oka Rusmini, perempuan kelahiran Jakarta 11 juli 1967 tersebut tidak jauh-jauh dengan kehidupan dan kebudayaan di Bali. Beliau memang tinggal dan dibesarkan di Denpasar dengan kebudayaan Bali yang kental.
Pada novel ini, menggambarkan jelas bagaimana kehidupan perempuan yang berusaha mempertahankan hidup, memperlakukan tubuhnya dan menjalani kehidupan rumah tangga.
Ada beberapa kisah yang ditulis oleh Oka dengan beragam permasalahan masing-masing. Beberapa bagian menyambung hingga akhir cerita.
Saya menelaah tokoh Sipleg, perempuan yang dinilai aneh dan jarang berbicara. Diceritakan dalam novel tersebut Sipleg seorang perempuan kuno yang kuat meskipun tidak bisa baca dan tulis. Sipleg terlahir dari seorang rahim pelacur bernama Songi, dia bahkan tidak mengenali arti kasih sayang ibu.
Ibunya, Songi merupakan pelacur yang terkenal dan sudah dijual oleh ayahnya sejak pertama haid. Hingga Songi bertemu dengan I Wayan Seger, seorang tukang jagal. Kedekatannya dengan I Wayan Seger, membuat para lelaki semakin takut mendekati Songi.
Songi terlahir dari wanita bernama Ni Luh Wayan Rimpig. Rimpig dinilai wanita aneh pula, tidak bahagia atas perjodohannya. Hingga melahirkan anak terakhir bernama Songi dan tega menjualnya sebagai pelacur. Kedua orang tua Songi, Rimpig dan Seger memang berkehendak menjadikan Songi pelacur.
“Jangan menjual tubuhmu pada satu lelaki. Kau ditakdirkan sebagai pelacur. Jangan pernah jatuh cinta. Seorang pelacur sejati tidak memiliki satu lelaki, tetapi beratus-ratus lelaki. Semua tanpa nama. Seorang lelaki yang mengawinimu adalah lelaki jahanam.” Itu kata-kata Rimpig pada Songi. (Hal 116)
Itu sepenggal kisah dari ibu dan nenek Sipleg. Sipleg sebenarnya menikah dengan Payuk. Itupun juga karena Songi yang menjualnya. Semua kekayaan Songi habis setelah menikah dengan Seger yang tak mau bekerja. Karena terlilit hutang dengan Ni Luh Ketut Jinah, ibu Payuk suami Sipleg.
Perkawinan Sipleg dengan Payuk menghasilkan dua buah hati, kembar perempuan dan lelaki. Namun, melahirkan bayi kembar buncing dianggap sebagai malapetaka. Tandanya harus diadakan upacara bersih desa. Sipleg berpikir bahwa adat tidak bisa ditentang, dia rela menjalani adatnya. Mengemis di tiga desa bersama Payuk. Sipleg tidak ikhlas, dia tahu adat tersebut akan mengancam bayinya. Dan benar, hari pertama mengemis bayi lelakinya mati. Keesokan harinya, bayi perempuannya.
Sipleg menyiapkan diri, mengumpulkan serpihan dendam dihatinya namun tanpa air mata. Terdiam seperti batu dan merajang seluruh dendam yang dia tanam seluruh aliran darahnya.
Bukan hanya penggalan kisah Sipleg, ada beberapa tokoh perempuan dengan segala masalah masing-masing terutama kehidupan ekonomi dan seksualitas yang menentang adat. Pengarang dengan gaya bahasa ringan dan seolah realistis mengungkapkan disetiap alurnya. Namun, jika membaca novel ini harus penuh teliti untuk memahami bagian-bagian tokohnya. Alurnya yang maju mundur terkadang membuat kita susah menautkan potongan kisah tokoh satu dengan lainnya.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)