Skip to main content
Categories
InspirasiKemanusiaan

Rohingya, Jalan Mengolah Hati

Chitra Retna S.

Rohingya menyayat hati. Sedalam-dalamnya nurani.

Tapi Rohingya sama dengan tragedi manusia perahu Vietnam, Tuol Seng Kamboja (yang hanya mendengar namanya saja rasanya nafas terhenti), Hutu di Rwanda, Poso dan Ambon. Kekejian atas nama pembedaan antar manusia.

Saya menolak untuk melebihkannya semata karena “sesama muslim”. Atau mengurangkannya. Our heart goes out to all of those ‘dhuafa.’ Dhuafa = yang terjepit, teraniaya. Apapun agamanya. Apapun kasusnya. (Tapi bisa melebihkan jika diukur dari derajat kekejian suatu kejadian, bukan karena identitasnya, walau katanya seribu korban dan satu korban sama-sama tragedi kemanusiaan).

‘Tapi khan sesama muslim? Masa gak merasa bahwa sesama muslim adalah bersaudara?’ Yang tertusuk pada mereka berdarah pada kita? Kelompok yang harus kita sebut sebagai ‘kelompok kita’ dan karenanya harus kita prioritaskan di atas kelompok lain?

Maaf, sudah lama saya menanggalkan penafsiran identitas “sesama muslim” sebagai “sesama manusia beragama formal Islam”. Islam adalah jalan. Muslim adalah pejalan. Lihatlah Islam sebagai esensi, bukan sebagai label. Semua yang berjalan di jalan esensi Islam, yaitu para pencari Tuhan, adalah Islam. Adalah muslim. Semua yang menghikmati keyakinan bahwa agama diturunkan seperti Muhammad di-wahyukan, hanya dan hanya untuk satu hal: memperbaiki perilaku, adalah Islam. Adalah muslim. Jadi “sesama muslim bersaudara” adalah “sesama para pejalan yang berusaha memperbaiki diri untuk mendekatkan pada Tuhan adalah bersaudara”. Titik. Apapun agamanya.

‘Tapi khan tujuan besar kita menjadikan Islam jaya kembali? Diakui? Kekhalifahan di muka bumi, yang akan melindungi dan memastikan ummatnya ber-Islam dengan benar?’

Maaf juga, sudah lama saya menanggalkan kebanggaan khusus terhadap kata-kata “Islam jaya”, “Islam kekhalifahan dunia”, “Islam menjadi ummat yang diperhitungkan dunia”, dan lain sebagainya. Kata-kata itu kosong!

Framing yang terbawa arogansi persaingan antar manusia. Lha wong kita semua berjibaku hanya dan hanya di satu medan, yaitu mengalahkan “ego-ego diri” yang mendesak untuk jadi tuhan-tuhan kecil atas ruh kita, lalu apa arti jaya? Jaya hanya berarti mereka yang bisa mengalahkan tuhan-tuhan kecilnya itu untuk mendekat pada Tuhan yang satu. That is the very meaning of ‘Tauhid’, arti mendasar dari Tauhid, laa ila ha ilallah tiada tuhan selain Tuhan. Arti mendasar dari Islam, berserah diri. Dan untuk “jaya” dalam pertarungan ini, tidak tergantung dirimu berada di tengah-tengah komunitas apa, atau seberapa besar komunitas beragama formal Islam. Sama sekali tidak. Anda percaya yang paling jaya dalam urusan hati ini adalah mereka yang hidup di Arab Saudi? Atau Brunei Darussalam? Saya tidak. Kita bisa menemukannya di pelosok Denmark, Hungaria, Timbuktu, atau Papua, Padang, Ambon. Hanya bergantung pada satu dan satu saja variabel: seberapa tekun dirimu mengolah hati.

So Islam is not a border. Never meant to be a separated boundary. Islam bukan pemisah. Tidak pernah menjadi pemisah. Islam is truly a bridge. Islam adalah jembatan. Dengan menjalani Islam, memahami nilai-nilai dan esensi yang diperkenalkan Islam, dirimu akan mudah mengenali nilai-nilai sama yang dijalani jiwa-jiwa yang lain. Jembatan untuk mengenali. Menyapa sesama musafir that crossing the path, yang bertemu di sana-sini dalam perjalanan kita. Siapapun mereka.

Tidak pernah ingin anak-anak saya ter-doktrin dengan Islam sebagai pemisah seperti itu. Islam yang kental dengan dogma sempit, pelabelan dan chauvinisme (kekelompokkan). Berharap mereka menghikmati Islam sebagai jembatan. Islam sebagai esensi.

Jadi doakanlah (dan bantulah) Rohingya sama seperti kita mendoakan/membantu orang-orang terjepit yang ada di sekitar kita. Sama seperti kita mendoakan perempuan laki-laki anak-anak yang teraniaya di Afghanistan, Venezuela, Korea Utara, Syria dll. Tapi utamakan yang di RT dan kampung kita sendiri, seperti contoh Nabi. Doakan semua pejalan itu agar apapun yang mereka hadapi, mereka bisa melampaui keterjepitan kejadian itu dengan menjadikannya jalan mengolah hati.

#IslamEsensiBukanIslamLabel
#Selalu refleksi dan dobrak dogma-dogma yang sempit

Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends