Saatnya Berbagi, Mengulurkan Tangan, Membuka Pelukan
- Post AuthorBy Margaretha Diana
- Post DateSat Jun 02 2018
Bulan Mei kemarin, memang menyisakan banyak cerita duka. Tak hanya PR tragedi kemanusiaan terhadap perempuan yang tak juga terungkap sejak 98, tapi juga teror bom Surabaya, yang terjadi beruntun setelah kerusuhan di Lapas Mako Brimob, Jakarta.
Kejadian-kejadian beruntun tersebut, tak hanya mengoyak iklim kondusif menyambut Bulan Ramadan, tapi juga meninggalkan luka begitu dalam. Anak yang kehilangan orangtuanya, orangtua yang kehilangan anaknya, istri yang kehilangan suami, juga suami yang kehilangan istri, belum lagi para kerabat, yang pastinya juga ikut merasa kehilangan.
Mei kemarin, mungkin menjadi catatan suram juga, bagi para perempuan. Banyak perempuan yang merasa tercabik hatinya, bukan hanya karena melihat anak-anak yang menjadi korban teror bom Surabaya, melainkan juga karena keterlibatan seorang ibu, seorang perempuan, dalam teror tersebut, yang juga melibatkan serta megorbankan anaknya, demi syahwat sesatnya akan agama.
Sejak kasus Hasna Aitboulahcen, pelaku bom bunuh diri di Saint-Denis, Paris, para pemerhati serta pakar terorisme seperti Sidney Jones, memang melihat, bahwa perempuan sekarang menjadi sasaran utama para teroris, untuk melakukan aksi bom bunuh diri.
Perempuan yang cenderung tak mudah dicurigai gerak-geriknya, lebih luwes untuk berbaur bersama dengan yang lain, serta terdoktrin sebagai calon bidadari penghuni surga yang menurut serta manut pada suaminya, lebih gampang untuk dijadikan kurir bom bunuh diri.
Sindey bahkan mengatakan, bahwa untuk saat ini, ada sekitar 40 perempuan, serta 100 anak-anak Indonesia dibawah umur 15 tahun, yang terjebak dalam perang Suriah, karena ajakan jihad dari ISIS. Sebuah catatan penting yang patut dipertanyakan, akan peran seorang perempuan, sebagai ibu, yang seharusnya menjaga anak-anaknya, dari segala bentuk kejahatan serta kekerasan. Dengan memberikan pendidikan serta kasih sayang yang baik, bukan dengan mengajaknya ke arena perang.
Untuk itulah, di bulan awal bulan Juni ini, yang bertepatan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila, dan Hari Anak-anak Sedunia, kita, para perempuan Indoneisa, harus lebih aware, terhadap lingkungan, serta pendidikan yang didapat anak-anak kita. Bukan apa-apa, karena menurut data terpadu di Kementrian Sosial, banyak anak-anak yang terpapar gerakan radikal, yang justru berasal dari keluarga, serta sekolah.
Bahkan ada satu anak yang bersaksi, bahwa ia didoktrin untuk masuk JAD, Jamaah Anshorut Daulah, salah satu jaringan ISIS, justru oleh ibunya. Ibundanya yang terlebih dahulu bergabung dengan jamaah Ustadz Fauzan Al Ansori untuk dibai’at masuk dalam JAD. Dan ibundanya pulalah, yang kemudian ’membawa masuk ayah, dirinya, serta adik-adiknya, untuk masuk kedalam jaringan ini.
Bukankah itu mengerikan?
Ibu, seharusnya menjadi benteng pertahanan utama seorang anak, bukan malah, menjebol benteng pertahanannya dan tak memperhatikan keselamatan anak bukan?
Bisa jadi, mungkin para ibu ini, para perempuan ini, selama ini hidupnya hanya terkungkung dalam lingkup jamaah kajiannya saja, hingga mindsetnya terdoktrin sedemikian rupa. Dan kita, sebagai sesama perempuan, sudah selayaknya ada bagi mereka, mengulurkan tangan, menuntun mereka, keluar dari cangkang sesatnya, agar bisa melihat dunia luar dengan lebih jernih dan terang.
Tanggal 1 Juni 2018 kemarin, bertepatan dengan Hari Pancasila, ada kegiatan yang diharapkan mampu membuat sejuk kembali kondisi masyarakat Indonesia yang cukup panas karena tragedi Bulan Mei lalu. Lebih dari 200-an umat muslim berbuka puasa bersama di ruangan Aula Gereja Katedral, Jakarta, Jumat (1/6/2018).
Kegiatan yang bernuansa kerukunan antar umat beragama ini digerakkan oleh Komunitas Kerja Bakti Demi Negeri. Sebelum berbuka puasa bersama, umat muslim yang hadir diajak tur berkeliling gereja Katedral. “Berikutnya kita akan adakan buka puasa bersama di Vihara,” ujar Damar Juniarto yang juga terlibat pada kegiatan ini bersama Alissa Wahid inisiator Komunitas Kerja Bakti Demi Negeri.
Bulan Ramadan sudah memasuki pertengahan bagi umat muslim yang sedang melaksanakan ibadah puasa. Untuk itulah, ada baiknya, tali silaturahmi, dieratkan kembali, satu dan lainnya. Kita butuh satu dan lainnya, untuk saling menguatkan, juga untuk saling mendukung, saat yang lain terpuruk dan tersesat.
Berbagi kebahagiaan, berbagi cerita, berbagi beban serta penderitaan, bisa menjadi awal yang baru, menggenapi hati yang kembali bersih, kembali fitri.
Karena tak pernah ada kata terlambat, bagi semua perempuan, yang mau mengulurkan tangannya, kepada perempuaan lain, yang membutuhkan. Kita hidup, dalam rangkaian serta lantunan cinta kepada sesama.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)