Satu ‘Alexis’ Ditutup, Sepuluh ‘Stadium’ Dibuka
- Post AuthorBy Margaretha Diana
- Post DateSat Nov 04 2017
Berbicara tentang bisnis prostitusi, itu sama halnya berbicara tentang bumi ini dibentuk. Ya, prostitusi merupakan bisnis setua bumi. Sejak dahulu kala, sejak manusia mengenal peradaban, bisnis ini mulai berkembang di semua tempat. Tak sejengkal tanah pun di dunia luput dari bisnis ini.
Beberapa tahun lalu, gang Dolly, tempat bisnis prostitusi terbesar di Asia Tenggara ditutup, sempat menimbulkan banyak polemik di masyarakat, baik masyarakat internal maupun eksternal. Sama halnya sewaktu lokalisasi Kramat Tunggak, Kalijodo, atau Sarkem Jogjakarta ditutup, ada banyak suara, riuh rendahnya mengalahkan bisnis lendir itu sendiri.
Untuk saat ini, masyarakat kembali ramai berbicara seputar penutupan Alexis di Jakarta. Ya mungkin saja, beritanya tidak bakal seriuh sekarang, jika tidak dikaitkan dengan sejarah pilkada paling brutal yang terjadi baru-baru ini di Jakarta.
Konsep hotel dengan one stop intertainment seperti Alexis, sebenarnya ada banyak di Jakarta, juga kota-kota besar lainnya. Alexis sendiri, hotel yang dahulu bernama Hotel Ancol ini, memang menawarkan kepada pengunjungnya fasilitas hiburan seperti diskotik, karaoke, pijat, jacuzzi hingga lounge yang memang identik dengan tempat hiburan malam kota-kota metropolitan. Dan itu salah satu alasan mengapa Sutiyoso memberikan ijin kepada hotel Alexis untuk beroperasi.
Penutupan kali ini, yang terkait dengan masalah perpanjangan ijin, sebenarnya sarat dengan permasalahan yang amat sangat kompleks. Bukan hanya ditutupnya hotel yang pasti berkaitan dengan banyaknya tenaga kerja yang terancam menganggur, tapi masalah lain yang erat kaitannya dengan prostitusi. Sudah menjadi rahasia umum, yang namanya tempat hiburan malam, pasti erat kaitannya pula bisnis prostitusi.
Dengan ditutupnya Alexis, jelas sekali ada banyak nama para perempuan yang tadinya berprofesi sebagai kupu-kupu malam, kehilangan pula mata pencahariannya. Dan di sini, kita bicara bukan tentang moral, bahwa seharusnya mereka bersyukur kehilangan pekerjaan yang menurut banyak agama, sebuah pekerjaan yang haram. Tapi kita bicara tentang manajemen sebuah bisnis, yang berkaitan erat juga dengan kesehatan, yaitu penyakit kelamin.
Data di negara ini, penderita AIDS, semakin meningkat seiring waktu. Bahkan Kementrian Pemberdayaan Perempuan Dan Anak pun, mengestimasikan, paling tidak ada lebih dari 270.000 kasus HIV AIDS yang ada di negara ini, baik yang dilaporkan maupun tidak. Seperti kita tahu, HIV dan AIDS, erat kaitannya dengan perilaku seks bebas, itulah mengapa, banyak penderitanya yang lebih suka menutup diri dan denial terhadap penyakit yang dideritanya. Mereka jarang mau jujur dan terbuka terhadap orang lain tentang penyakitnya
Sebagai perempuan, wajar rasanya jika kita gerah terhadap para perempuan yang menjual jasa layanan seks. Bisa dimaklumi, karena kita pasti tidak ingin pasangan kita tergoda untuk menikmati layanan mereka. Tapi, penutupan tempat hiburan malam pun, sebenarnya bagaikan pisau bermata dua. Karena saat tempat-tempat tersebut dibuka secara legal, tidak sembunyi-sembunyi, kita jadi tahu, dimana sumber “bau” tersebut berasal. Disisi lain, pemerintah pun lebih bisa mengawasi dan mendata para pekerja seks komersial. Mana yang berpotensi terjangkit HIV AIDS, mana yang tidak. Karena mereka, berada di satu tempat secara terpusat.
Tapi, saat tempat-tempat tersebut ditutup, maka yang terjadi malah penyebaran yang massive para pekerja seks komersial ke mana saja, legal maupun ilegal, terdata maupun tidak, lengkap dengan segala penyakit kelamin yang dibawanya. Jika sudah seperti itu, apa jaminannya mereka tidak tiba-tiba muncul di lingkungan yang tadinya steril dari PSK?
Jika kita berbicara tentang moral dan agama tentang mereka, maka pasti akan bertabrakan dengan yang namanya realita. Ya, realistis sajalah, mereka terbiasa dandan cantik, hidup serba berkecukupan, tanpa harus bekerja susah payah hingga kulit dan telapak tangan kasar tak karuan, yakin mereka mau melepas begitu saja profesi lamanya? Apalagi jika sudah tidak ada lagi manajemen hotel atau “mami” yang memotong honor mereka. Toh biasanya, mereka pun punya nomor kontak pribadi para pelanggannya.
Menutup sebuah tempat hiburan malam, yang jelas-jelas terbuka apa dan bagaimana isinya, hanya akan seperti menutup sebuah tempat pembuangan akhir. Dimana sampah-sampah justru hanya akan tercecer dimana-mana, menimbulkan bau yang tak sedap serta polusi disemua tempat. Sekali lagi, prostitusi, adalah bisnis setua bumi, melebihi sebuah prinsip ekonomi sederhana, dimana ada permintaan, disitu ada barang. Prostitusi, lebih dari itu.
Itulah sebabnya, naif sekali saat kita menganggap, ditutupnya sebuah tempat hiburan malam, maka kita membunuh sebuah bisnis tua bernama prostitusi. Yang terjadi justru akan ada banyaknya bisnis yang sama yang merata di segala tempat, guna mengambil kesempatan yang ada. Karena prinsip bisnis ini sederhana, ada uang, semua senang, semua riang, jangan bawa agama, ataupun moral, karena ‘lendir’ tak mengenal logika.
- Post Tags#alexis#bisnis#esek#prostitusi
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)