Skip to main content
Categories
BeritaSosial

Siswi SMP Diperkosa 20 Orang, Pernyataan LPA Bengkulu Bikin Emosi

Masih ingat Yuyun? Gadis SMP asal Bengkulu yang tewas setelah diperkosa 14 orang yang kasusnya sempat heboh pada pertengahan tahun lalu?

Seolah ingin mengulang kisah serupa, kasus menyedihkan ini kembali terjadi baru-baru ini. Dilansir dari harianrakyatbengkulu.com, seorang gadis yang disebut Bunga (15), diduga telah diperkosa oleh kurang lebih 20 orang pria di sebuah perkebunan karet di kabupaten Bengkulu Utara pada Sabtu (4/11) lalu (berita lengkap klik http://harianrakyatbengkulu.com/ver3/2017/11/07/siswi-smp-diperkosa-20-pria/).

Menariknya, setelah kasus ini mencuat ke publik, muncul foto pernyataan tertulis dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Bengkulu yang menyatakan kasus tersebut bukanlah kasus perkosaan, melainkan kasus persetubuhan atas dasar suka sama suka. Dalam surat tertanggal 7 November 2017 tersebut, LPA mengutip pernyataan pihak kepolisian yang mengatakan anak tersebut (korban) memang sudah terkenal (nakal).

Terlepas kasus ini sekarang masih dalam proses penyelesaian oleh pihak berwajib, penulis sangat menyayangkan pernyataan dari LPA. Dalam surat tersebut, bukannya melindungi, LPA malah terkesan memojokkan korban dan keluarganya. Apa ini berarti LPA melupakan fakta bahwa korban masih berusia 15 tahun yang secara psikologis dan hukum jelas-jelas tidak bisa dikategorikan sebagai perempuan dewasa? Lantas mengapa frasa “suka sama suka” malah seolah diamini?

Bahkan kalau -sekali lagi “kalau”- si korban ini adalah benar seorang perempuan yang perilakunya kurang baik dan cenderung “nakal”, bukankah tugas LPA untuk menyelidiki latar belakangnya dan membantu menyelesaikan masalahnya? Anak usia belasan yang terlalu liar umumnya memiliki masalah serius, seperti gangguan bipolar atau depresi. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa anak ini terlalu sering mengalami kekerasan fisik maupun psikis.

Apapun itu, sudah selayaknya lembaga-lembaga pemerhati anak bisa lebih memperhatikan perasaan dan kondisi psikologis  korban -terlebih mereka yang masih di bawah umur-. Lihatlah lebih dalam dari sudut pandang korban. Mereka butuh dibela, butuh ditolong.  Jika lembaga seperti ini saja masih bisa menyalahkan perempuan atas apa yang dia pakai -atau lakukan- ketika diperkosa, maka wajarlah jika banyak korban memilih bungkam. Pendampingan dan uluran tangan yang diharapkan kebanyakan hanya berujung pada “penyelesaian secara kekeluargaan” yang terjemahan bebasnya adalah dinikahkan. Di mata orang lain mungkin selesai dengan menikah, tapi bagi korban… dinikahi oleh pemerkosanya hanya akan menambah beban batinnya.

Bengkulu.

Penulis rasa benar-benar ada yang tidak beres dengan daerah ini. Entah faktor apa yang mempengaruhinya, yang jelas selama semester awal 2017 saja sudah tercatat 121 kasus perkosaan terhadap perempuan dan anak (data Antara News, diakses Agustus 2017). Angka ini pasti aslinya jauh lebih besar karena tak semua korban berani mengaku. Jelas tidak cukup dengan pemerintah atau aparat kepolisian saja untuk menghentikan kasus-kasus menyedihkan ini. Peran serta seluruh elemen masyarakat juga diperlukan. Termasuk untuk Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan lembaga atau yayasan pemerhati anak lainnya, tidak ada salahnya jika bisa sedikit memprioritaskan daerah ini.

Kami tidak ingin mendengar ada Yuyun-Yuyun atau Bunga-Bunga lain yang menjadi korban.




Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends