Skip to main content
Categories
InspirasiLifehacks

Tips Menjawab dan Menghindari Pertanyaan, “Kapan?”

Kamu pria dan wanita berkepala dua? Maka, bersiaplah saat dibombardir pertanyaan berawalan kapan dari sekelilingmu. Hal itu jelas mengganggu karena terkesan menjamah privasi. Namun, kalau sedang bersosial memang rawan.

Pertanyaan berawalan kapan sejatinya disesuaikan dengan pekerjaanmu. Misal kamu adalah mahasiswa, berarti, “kapan wisuda?” Atau, jika kamu seorang karyawan, maka, “kapan naik pangkat?” Lebih horor dari itu semua adalah, “kapan nikah?” Lalu, disusul dengan, “kapan punya momongan?” Tidak ada habisnya. Si penanya seakan punya stok pertanyaan model kapan yang berjibun.

Seandainya semua orang tidak kepo, mungkin kamu tidak akan baper.

Jawaban untuk pertanyaan “kapan” merujuk pada waktu. Misal kapan kamu meninggal atau kapan kamu bertemu jodoh? Itu semua misteri. Jadi, kalau sedikit berpikir, sebenarnya manusia tidak berhak bertanya seperti itu. Yang kamu tanyai tidak akan tahu. Sudah begitu, bikin baper lagi. Apa tidak kasihan?

Lebih spesifik lagi jika menyinggung aspek etis tidak etis. Pertanyaan “kapan” akan sangat menyinggung. Padahal, kerap kali penanya model begitu adalah yang jarang bertemu. Singkatnya, kamu tidak tahu bagaimana kendala yang dihadapi, tiba-tiba ingin tahu eksekusinya.

Contohnya saat bertanya, “kapan wisuda?” Hal terakhir yang kamu ketahui adalah dia anak cerdas, tapi kenapa belum wisuda? Negative thinking pun muncul dan berspekulasi bahwa dia pemalas. Padahal, yang sebenarnya adalah mendapat dosen pembimbing super sibuk, di mana membutuhkan waktu lama untuk memeriksa skripsi. Lalu, untuk pertanyaan, “kapan punya momongan?” terkadang ditambahi unsur menyama-nyamakan dengan orang lain. Ah, sudah rahasia umum bukan kalau anak adalah rezeki yang dititipkan Tuhan? Meski sudah berusaha, tapi kalau belum diberi kesempatan, apa boleh buat? Lagi pula, suami isteri mana sih yang tidak mendambakan buah hati?

Seperti yang sudah disinggung, bertanya pada orang yang lama tidak berjumpa sah-sah saja, karena ingin tahu kabar terbaru. Namun, modelnya perlu diubah agar tidak ada yang tersinggung. Kapan yang merujuk pada waktu bisa diganti menjadi bagaimana. Misal, bagaimana skripsinya? Bagaimana rencana pernikahannya? Bagaimana program hamilnya? Bagaimana yang merujuk pada penjelasan akan memudahkan untuk bercerita. Kalau “kapan” seperti ditodong begitu saja. Jangan seperti maling yang ingin mendapatkan keinginan dengan sekonyong-konyong.

“Kapan” memang bikin baper, tapi bukan berarti membuatmu menarik diri agar terhindar. Bersosial tetap diperlukan dalam kehidupan. Intinya untuk menghadapi itu semua adalah percaya diri. Hanya kamu yang tahu kualitas diri, kan? Menjawab dengan belum tahu, lalu ditambahkan cerita mungkin cara yang konvensional. Namun, meme yang sudah tersebar berkenaan dengan pertanyaan “kapan” tidak ada salahnya dicoba. Masing-masing pertanyaan “kapan” diberikan tarif tertentu. Candaan ini cukup ampuh untuk mengalihkan pembicaraan.

Nah, lalu bagaimana caranya untuk menjauhkan diri dari pertanyaan “kapan,” tapi tetap bisa bersosial? Hindari interaksi dengan satu dua orang dalam perkumpulan. Semakin banyak orang, topik kapan kemungkinan kecil tidak dibahas. Kemudian, usahakan keep in touch dengan teman atau keluarga agar ada pembicaraan lain yang lebih layak. Selanjutnya, balikkan pertanyaan “kapan” pada si penanya. Dia akan mati gaya kalau dirinya sendiri belum. Atau, kalau sudah, dia akan bercerita bagaimana prosesnya. Secara psikologis, orang lebih suka membicarakan dirinya sendiri, bukan? Terakhir, perkirakan pertanyaan “kapan” apa yang akan dilontarkan padamu. Saat pertemuan, bertanyalah dengan model bagaimana. Di sini kamu akan terlihat percaya diri dan secara tidak langsung mengelabuhi kalau jawaban yang diminta darimu adalah sudah.

Selama kamu bersosial atau selama populasi orang kepo di dunia ini masih ada, pertanyaan “kapan” masih saja bergulir. Sayangnya, kedua hal itu tidak bisa “diberantas.” Sementara itu, dua hal yang bisa dilakukan untuk mensiasati atau setidaknya mengurangi intensitasnya adalah menerapkan “trik-trik sosial” dan lebih berpikir lagi saat berhadapan dengan orang lain.

Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)

Subscribe our newsletter?

Join Newsletter atau Hubungi Kami: [email protected]

Inspirasi
BelanjaKarirKecantikanKehidupanKeluargaIndeks
Let's be friends