Tragis! Batal Nikah Setelah Terjebak Hubungan dengan Kekerasan
- Post AuthorBy Arako
- Post DateThu May 03 2018
Seorang teman, cewek, belum lama ini batal menikah. Hanya beberapa minggu saja sebelum rencana akad nikah dan resepsi berlangsung. Tak perlu dibahas berapa banyak komentar miring yang dia terima. Belum termasuk rasa malu dan kerugian materil yang harus ditanggung karena undangan terlanjur disebar, termasuk gedung dan jasa tata rias yang terlanjur di-booking.
Dalam kultur masyarakat Sumatera Selatan, batal menikah adalah aib yang sangat besar. Beberapa pihak bahkan lebih santai menerima aib perceraian ketimbang batal menikah. Namun saya mengetahui benar, keputusan teman saya itu sudah tepat. Dia memilih batal menikah dari pasa terjebak dalam neraka pernikahan seumur hidup.
Teman saya itu mengalami abusive relationship (kekerasan dalam hubungan pacaran) dengan pasangannya. Abusive relationship secara umum berarti sebuah bentuk hubungan yang sering diwarnai kecemburuan, tidak ada kehangatan emosional, kurangnya kualitas hubungan yang erat, pelecehan seksual, ketidaksetiaan, penyiksaan secara verbal, ancaman, dusta, pengingkaran janji, serta permainan kekuasaan. Dalam kasus teman saya ini, dia sering mengalami penyiksaan verbal berupa kalimat-kalimat kasar yang berlanjut pada kekerasan fisik, terutama ketika mereka sedang berselisih.
Tidak semua perempuan menyadari bahwa dia tengah terjebak dalam abusive relationship. Beberapa malah senang mencari alasan untuk membenarkan perlakuan buruk dari pasangannya, seperti “Ah, si dia lagi capek dan banyak pikiran. Wajar dia marah-marah …” atau “Dia punya cara sendiri untuk ngungkapin rasa sayangnya …”
Sisanya cenderung menyalahkan diri sendiri atas perlakuan buruk yang diterimanya dengan kalimat sebangsa, “Emang salah aku sendiri nggak nurutin dia. Kalau aku dengerin apa yang dia bilang, dia ga akan ngasarin aku.”
Faktanya, seorang abuser (pelaku kekerasan) kan sangat mudah memainkan emosi pasangannya. Termasuk playing victim (berlagak sebagai korban) kalau perlu. Di sisi lain, si korban umumnya tidak sanggup berbuat apa-apa dengan alasan terlanjur sayang. Hati kecilnya akan terus berharap dan berharap pasangannya ini akan berubah dengan sendirinya.
Pemikiran seperti ini justru makin memperburuk keadaan. Kamu hanya akan terus menerus disakiti. Banyak yang berpikir partnernya akan berubah lebih baik saat menikah dan naluri kebapakannya muncul saat punya anak. Namun faktanya, angka KDRT di Indonesia meningkat setiap tahunnya dan menjadi faktor utama perceraian. Memelihara abusive relationship sampai ke jenjang pernikahan hanya akan menambah masalah. Memangnya ikhlas jika kelak bukan hanya dirimu yang jadi korban, namun merembet sampai ke anak-anakmu?
Untukmu yang terlanjur terjebak dalam hubungan semacam ini, tolong pikirkan ulang baik-baik. Ingat dirimu adalah ciptaan Tuhan yang berharga, tak pernah punya hak untuk dikasari. Ingat orang tuamu, saudaramu, kerabatmu yang jelas akan ikut tersakiti hatinya. Ingat bahwa hubungan yang baik adalah yang dilandasi kasih sayang dan bukan kekerasan.
Bicarakan dengan orang-orang yang kamu percaya, minta bantuan profesional kalau perlu. Terakhir, pikirkan matang-matang, apakah hubungan lebih banyak membawamu dalam kebahagiaan atau malah membuatmu menderita. Jika jawabannya yang terakhir, tidak ada salahnya mencari orang lain yang lebih layak mendapatkanmu.
Sayangi selalu dirimu!
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)