Tunda pilkada serentak 2020, Presiden perlu segera terbitkan Perpu
- Post AuthorBy Rina Na Kwartiana
- Post DateMon Mar 30 2020
Sesuai dengan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pilkada Serentak 2020 akan digelar pada 23 September 2020. Dan sebanyak 270 daerah akan menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak tersebut.
Namun rasanya, pelaksanaan pilkada serentak itu perlu dikaji ulang. Penundaan Pilkada harus menjadi prioritas utama, karena wabah virus Covid 19 yang semakin meluas hampir diseluruh wilayah Provonsi di Indonesia.
Menurut saya secara awam, penundaan Pilkada ini amat penting, karena pada saat ini pemerintah harus fokus dalam penanganan dan pemberantasan virus Covid 19. Untuk itu, rasanya sangat penting agar Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) sebagai landasan penundaan Pilkada 2020. Hal ini dapat menjadi landasan hukum yang kuat bagi KPU untuk menerbitkan keputusan penundaan Pilkada.
Melihat sebaran provinsi yang akan melaksanakan Pilkada 2020, dari 34 provinsi di Indonesia, hanya DKI Jakarta dan DI Aceh saja yang tidak melaksanakan Pilkada tersebut. Sehingga dari 32 provinsi, secara keluruhan akan ada 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada serentak 2020.
Sejak sepekan yang lalu, melalui Keputusan dan Surat Edaran yang dikeluarkan oleh KPU, KPU memutuskan bahwa beberapa tahapan Pilkada serentak 2020 ditunda pelaksanaannya. Tahapan-tahapan itu antara lain adalah pelantikan anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi faktual dukungan bakal pasangan calon perseorangan, dan pembentukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dan tahapan Pencocokan dan Penelitian data pemilih (COKLIT).
Tentu saja, implikasi tekhnis dari penundaan yang dilakukan ini akan berdampak pada kontuinitas atau kelanjutan tahapan Pilkada lainnya, dan kemungkinan besar akan menggeser waktu pemungutan suara, karena pemungutan suara adalah inti dari Pilkada tersebut.
Hal ini bisa dilihat dari ketentuan pasal 13 ayat (3) UU No. 1 tahun 2015 tantang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang menyebutkan bahwa “PPS dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota 6 (enam) bulan sebelum pemungutan suara dan dibubarkan paling lambat 2 (dua) bulan setelah pemungutan suara”. Jika pelantikan PPU bergeser, tentu saja pelaksanaan pemungutan suara pun akan bergeser sesuai dengan bunyi pasal tersebut.
Karena Pilkada kita dilaksanakan secara serentak, dampak yang penundaan ini seharusnya tidak dilihat daerah pet daerahnya saja, tetapi harus dilihat juga dalam kesentakan Pilkada itu sendiri. Maka kebijakan yang akan dibuat seharusnya kebijakan drngab pendekatan berskala nasional dan tidak secara parsial daerah per daerah. Sementara itu, penundaan Pilkada yang diatur dalam UU Pilkada berupa Pemilihan Lanjutan dan Pemilihan Susulan, sebagaimana diatur dalam pasal 120 dan pasal 121 UU No. 1 Tahun 2015. UU ini tidak dapat memberikan landasan hukum bagi penundaan Pilkada secara nasional, melainkan hanya secara secara parsial daerah per daerah dan terbatas pada wiyah yang mengalami kondisi luar biasa (force majeur), serta harus dilakukan secara Buttom up, berjenjang dari bawah ke atas.
Untuk itu, dengan sudah ditundanya empat aktivitas tahapan pilkada, yang memiliki implikasi langsung terhadap tahapan lainnya, terutama hari pemungutan suara Pilkada 2020, yang telah dijadwalkan pada tanggal 23 September 2020 (merujuk peraturan KPU No. 15/2019, 16/2019 dan 2/2020). KPU sebagai penanggungjawab akhir pelaksanaan Pilkada 2020, merasa perlu untuk menyesuaikan kembali tahapan pelaksanaan Pilkada, agar tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip pemilu yang demokratis dan konstitusional.
Untuk dapat mengubah hari pemungutan suara, terutama bulan dan tahun pemungutan suara Pilkada 2020, KPU tidak dapat menentukan sendiri. Sebab berdasarkan UU Pilkada, khususnya pasal 201 ayat (6) UU No. 10 tahun 2016, yang menyebutkan secara eksplisit bahwa “Pemungutan suara serentak Gubeenur dan Wakil Gubeenur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September tahun 2020”
Itu artinya, jika KPU hendak mengubah bulan dan tahun pemungutan suara, harus dilaksanakan dengan mengubah pasal 201 ayat (6) UU No. 10 tahun 2016. Namun untuk melakukan perubahan undang-undang itu ditengah wabah COVID-19 yang srmakin meluas, bukanlah hal yang gampang. Apalagi DPR sudah memutuskan untuk memperpanjang masa resesnya.
Karena kondisi yang semakin mendesak, karena tahapan Pilkada 2020 sudah berjalan cukup signifikan, dan prnyelenggara pemilu ad hoc di level kecamatan dan sebagian kelurahan sudah terbentuk. Bahkan, ada bakal calon pasangan yang sudah mendaftar dan sudah pula diteliti berkas administrasinya oleh KPU daerah.
Kondisi ini sangat tidak mudah, dan ikhwal kegentingan ini memaksa presiden untuk segera mengeluarkan Perpu sudah terpenuhi. Sebagaimana putusab MK nomor 138/PUU-VII/2009 “…Peraturan Oemerintah Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila : 1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesakuntuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; 2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; 3. Kekosongan Undang-Undang itu tidak dapat diatasi dengan cara menbuat Undang-Undang secara prosedur biasa kareba menerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk disekesaikan”
Dan dengan kondisi sebagaimana dimaksud Putusan MK tersebut, telah terpenuhi saat ini. Ketika KPU berhadapan dengan situasi yang mengharuskan penundaan penyelenggaraan piklada saat pandemi Covid-19.
Selain itu, mengadakan pemilihan selama masa pandemi dapat merusak atau dianggap merusak aspek demokrasi ini dengan mengurangi jumlah pemilih. Jika peduli dengan kesehatan badi dirinya dan keluarga, warga pasti cenderung untuk tidak memilih. Oleh karena itu, partisipasi yang tidak merata itu dapat merusak legitimasi kontestasi. Sehingga, mereka yang memiliki kindisi kesehatan mendasar yang dapat terpengaruh oleh COVID-19 kecil kemungkinannya untuk memilih. Melanjutkan proses pemilihan pun dapat menjadi kurang inklusif (Jsmes dan Garnett, 2020).
Menurut Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Perludem perlu mendorong beberaoa hal sebagai berikut :
- KPU segera nembuat simulasi komprehensif dampak penundaan tahapan pilkada terhadap kelanjutan agenda demokrasi lokal di 270 daerah yang ada. Simuladi ini diharapkan bisa menghasilkan skenario atau alternatif jadwal pilkada baru yang dapat menjadi pilihan pembuat UU guna memastikan terselenggaranya pilkada di masa mendatang secara demokratis tanpa membahayakan keselamatan warga negara.
- KPU segera berkoordinasi dengan pemerintah dan DPR untuk menjelaskan simulasi penundaan Pilkada 2020, dengan segala implikadinya, mulai dari teknis pengelolaannya, tahapan, anggaran, status penyelenggara ad hoc, sampai akhir masa jabatan kepala daerah di 270 daerah.
- Mendorong Presiden Joko Widodo untuk segera menetbitkan Perpu untuk mengubah UU Pilkada, terutama dengan jadwal pelaksanaan pada September 2020, vide pasal 201ayat (6) UU No. 10 tahun 2016, dengan memperhatikan danmenyesuaikan skala penanganan Covid-19 terhadap penataan jadwal pelaksanaan Pilkada dan pemilu dalam bingkai keserentakan pemilu yang lebih komprehensif, sebagaimana telah diatur putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019.
- Penerbitan Perpu Pilkada diharap mengatur substansi inplikasi teknis pengelolaan tahaoan, jadwal Pilkada, anggaran penyelenggaraan, keberlanjutan status penyelenggara ad hoc serta pengisian masa jabatan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya sebelum terpilih kepala daerah definitif.
- KPU dengan dukungan Pemerintah, melakukan sosialisasi secara komprehensif dan massif kepada publik terkait penundaan pilkada, agar informadi penundaan pilkada bisa tersampsikan dengan baik kepada masyarakat. Selain itu, adanya penundaan pilkada akan berdampak pada pemenuhan hak politik masyarakat untuk memilih kepala daerah setiap lima tahun sekali, namun perlu menjadi pertimbangan jika tetap melaksanakan pilkada justeru bisa berdampak pada berkurangnya partisipasi publik di pilkada.
• RINA •
Seseorang yang doyan makan, tapi bisa masak. Suka baca dan sedang belajar jadi penulis.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)