Zilia: Cacat Itu di Hati bukan Fisik
- Post AuthorBy Diasya
- Post DateMon Nov 20 2017
Kita tidak pernah bisa memilih dari rahim siapa akan terlahir dan bagaimana bentuk fisik nantinya. Toh, satu hal yang harus kita syukuri adalah kesempatan hidup yang diberikan Tuhan. Mungkin saya pernah bahkan sering mengeluh tentang hidung yang pesek atau postur tubuh saya yang tidak sampai 160 sentimeter hingga kerap jadi bulan-bulanan teman satu geng, dulu. Bisa jadi, saya pernah mengkhayalkan memiliki tubuh seindah Megan Fox atau wajah secantik Scarlet Johansson.
Ya, kini saya menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas. Kurang bersyukur atas semua nikmat yang telah Tuhan berikan membuat saya kadang tampil kurang percaya diri. Ya, pribadi itu melekat pada diri saya sebelum mengenal Zilia—Mbak Zi.
Kami tidak pernah bertatap muka karena saya tinggal di daerah Jawa Timur sedangkan ia berdomisili di Jakarta saat ini. Tergabung dalam satu wadah penulis yang sama, kami pun sering berinteraksi. Satu hal yang sering saya amati dari Mbak Zi adalah ketepatan waktu yang selalu ia dedikasikan untuk setiap jobsheet yang harus kami kerjakan. Iseng pun, saya bertanya mengenai kesibukan Mbak Zi selama ini. Bagaimana cara ia mengatur waktu hingga bisa menyelesaikan semua tanggungan sesuai deadline.
“Saya belajar menulis dan desain secara otodidak, Dek.”
“Wah, tapi keren loh, Mbak. Sampean bisa mengerjakan semua artikel dan pesanan desain tepat waktu.”
“Ya, buat penghasilan tambahan, Dek. Buat penderita spinal muscular atrophy seperti saya, hal ini adalah anugerah Allah.”
Apa itu spinal muscular atrophy? Saya langsung berseluncur ke internet demi mengetahui penyakit yang diderita Mbak Zi.
Didorong rasa ingin tahu, saya memberanikan diri bertanya pada sosok perempuan berusia 29 tahun tersebut. Mbak Zi pun menceritakan awal mula terkena penyakit kelumpuhan otot yang belum ada obatnya hingga kini. Dia baru berusia 11 bulan saat terkena kelumpuhan otot genetik yang menyebabkan dirinya harus duduk di kursi roda hingga sekarang.
Untungnya, Mbak Zi memiliki keluarga dan lingkungan yang sangat mendukung kekurangannya. Tiga adik laki-laki Mbak Zi yang setia membantu selama menjalani pendidikan formal hingga jenjang SMA. Jangan tanyakan apakah ia pernah mengalami bullying atau tidak! Saya pikir semua orang bakal tahu jawabannya.
Mbak Zi sendiri tidak pernah merasakan bangku kuliah. Saya pun memaklumi alasan dasar yang ia utarakan mengenai kesulitan mengatur jadwal kuliah dengan kehidupan pribadi. Toh, rajin membaca menjadi faktor kunci kecerdasan seseorang bukan sekadar pendidikan akademik.
“Lingkup pergaulan kita pula yang akan menentukan kelak diri kita seperti apa, Dek. Selama kita berteman dengan orang-orang yang baik maka kita pun akan tertular energi positif. Begitu pun, saya tidak pernah mengeluh dengan kondisi ini selama saya bisa melakukan segala sesuatu dengan baik.”
Ah! Saya tercekat. Apa yang telah saya lakukan selama lebih seperempat kehidupan selama ini? Saya sering mengeluhkan banyak hal mulai suami, anak yang rewel, pendidikan dan seabrek masalah lain yang kerap saya jadikan alasan untuk menyesali keputusan dimasa lalu. Terkadang kita memang jarang mengetahui bahwa ada banyak orang yang mungkin menginginkan kehidupan seperti yang kita miliki. Terlalu sering mendongak saja akan membuat leher kita sakit, bukan?
“Cacat itu terletak di hati, Dek, bukan pada fisik.”
Tuhan, hati saya sakit. Saya biarkan air mata itu mengalir deras sebagai wujud nurani sesama perempuan. Apa yang dikatakan Mbak Zi benar bahwa keburukan seseorang bukan terletak pada kekurangan fisik namun pada hati sang pemilik.
“Mbak, boleh nggak kalau kisah ini saya tuliskan?”
Mbak Zi terdiam. “Hmmm, selama hal itu menginspirasi dan bermanfaat untuk orang lain, sila Adek tulis.”
Hari ini, kisah itu saya tuliskan sebagai bahan pembelajaran bahwa perempuan itu makhluk yang kuat. Ada banyak perempuan hebat yang berjuang ditengah keterbatasan. Kudoakan kelak Mbak Zi memiliki kehidupan yang lebih baik seperti para perempuan lain di luar sana.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)