Menjalani Hidup dengan Gen Talasemia
- Post AuthorBy Arako
- Post DateSun Mar 04 2018
Halo, namaku Friska. Gadis asal Palembang yang kini menempuh pendidikan S2 di salah satu universitas di Depok. Usiaku terbilang sudah cukup untuk memasuki jenjang kehidupan rumah tangga, katakanlah dua atau tiga tahun lagi. Kendati demikian, ada satu hal yang saat ini membuatku sangat khawatir dan cemas akan kehidupan pernikahanku kelak, terutama garis takdir yang menunggu calon anak-anakku di masa depan.
Aku mengidap talasemia, yakni kelainan genetik pada darah yang menyebabkan penderitanya punya sel darah merah berbeda dengan orang normal.
Awalnya, tak ada yang menyangka aku punya kelainan ini. Aku hanya merasa sering pusing dan cepat lelah yang kerap dianggap sebagai anemia atau darah rendah biasa. Sampai akhirnya, selepas SMA aku menjalani sebuah tes, dan kemudian divonis mengidap Talasemia Beta Minor.
***
Sekilas tentang klasifikasi talasemia, berdasarkan bagian spesifik gen yang mengalami kelainan, talasemia terbagi menjadi 2, yakni Alpha dan Beta. Sementara berdasarkan gejala klinis dan tingkat keparahannya, talasemia dibagi menjadi mayor, minor, dan intermediate.
Penderita talasemia mayor tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup di dalam darah mereka, sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh yang bisa menyebabkan kematian. Oleh karena itu, mereka memerlukan transfusi darah yang sering dan perawatan medis rutin seumur hidupnya.
Sebaliknya, penderita talasemia minor (yang kadang disebut juga carrier atau pembawa sifat) sepertiku, sehari-harinya tidak terlalu menunjukkan gejala mengkhawatirkan. Seperti yang telah kusinggung di atas, gejalanya hanya sebatas anemia ringan atau hipotensi biasa (tekanan darah di dalam arteri lebih rendah dibandingkan normal, biasa disebut dengan tekanan darah rendah, red.) Bahkan dalam beberapa kasus, bisa tidak menimbulkan gejala sama sekali.
Sementara talasemia intermediate berada di antara keduanya. Lebih berat dari minor, namun tak sampai separah mayor
***
Sejauh ini, aku memang menjalani hidupku dengan amat normal. Namun sama seperti ibu yang mewariskan gen talasemia ini padaku, aku pun berpotensi mewariskan kelainan ini pada anak-anakku kelak.
Menurut Hukum Mendel tentang pewarisan sifat, aku bisa bernafas lega jika suamiku kelak adalah laki-laki normal tanpa gen talasemia. Kemungkinan terburuknya, anakku hanya akan menjadi carrier sepertiku. Yah, setidaknya pengidap talasemia minor masih bisa menjalani hidup dengan normal, kan?
Tapi jika suamiku ternyata membawa gen talasemia juga, maka ada kemungkinanku melahirkan anak-anak penderita talasemia mayor. Ini…, hal inilah yang benar-benar membuatku was-was.
Memikirkan akan punya anak yang kalaupun lahir selamat (talasemia bisa berimbas pada bayi sejak dalam kandungan), pastilah akan menderita seumur hidup. Transfusi dan pengobatan yang tak hanya melelahkan, namun juga membutuhkan biaya besar (saat ini biaya treatment untuk pasien talasemia mayor bisa mencapai angka Rp 350 juta/tahun).
***
Aku berbagi kisah ini, lantaran membaca data dari kementerian kesehatan terkait jumlah angka penderita talasemia mayor yang terus meningkat. Saat ini lebih dari 8 ribu penderita di seluruh Indonesia, yang berarti membutuhkan darah sebanyak 18 juta cc setiap tahunnya (Nah, mengerti kan, mengapa stok darah di PMI sering kosong?).
Memang, saat ini talasemia belum bisa disembuhkan, tapi setidaknya masih bisa berupaya untuk tidak menambah jumlahnya, bukan? Aku sangat berharap, siapapun yang kebetulan membaca tulisan ini bisa terbuka hatinya untuk lebih menaruh perhatian pada penyakit keturunan ini.
Kenalilah dirimu, sempatkan untuk melakukan tes meski merasa diri sehat-sehat saja. Toh hanya beberapa ratus ribu rupiah saja kok, namun jelas bisa menyelamatkan masa depanmu, termasuk keturunanmu.
Yang terpenting, tentu saja bijak-bijak memilih pasangan. Jangan egois dan nekat memaksakan kebahagiaanmu sendiri, namun anak-anakmu kelak menderita seumur hidup karena warisan kelainan orang tuanya (yang sebetulnya bisa dicegah).
Ingat selalu fakta ini, anak-anak talasemia mayor hanya bisa terlahir dari SEPASANG orang tua yang SAMA-SAMA punya gen talasemia.
Saat ini, aku hanya berdoa, pacarku saat ini benar-benar normal dan tak membawa gen talasemia. Dalam waktu dekat, aku akan menyuruhnya tes, tentu. Semoga, semoga saja hasilnya negatif talasemia. Aku takut membayangkan sebaliknya, karena itu sama saja vonis untuk akhir hubungan kami.
Doakan aku, ya?
****
*Ditulis berdasarkan penuturan Friska langsung kepada Peran Perempuan, akhir Februari lalu.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)