Menolak Menyerah pada Kanker
- Post AuthorBy Margaretha Diana
- Post DateMon Feb 05 2018
Editor: Erri Subakti
Sepuluh tahun lalu saya kenal perempuan berusia 39 dengan rambutnya yang rontok hingga tak tersisa di kepalanya, akibat kemotherapy yang sedang dijalaninya. Di Hari Kanker Sedunia, 4 Februari lalu, saya bertemu kembali dengan Rita Prayogo, seorang breast cancer survivor yang menolak untuk terpuruk akibat kanker payudara yang sempat diderutanya.
Sejak awal saya mengenalnya yang saya lihat justru semangat hidup yang menggebu-gebu dalam pengembangan karirnya. Saat mengalami kanker Rita memang resign dari pekerjaannya sebagai guru di sebuah sekolah internasional di bilangan Pondok Indah. Namun sejak kankernya berhasil diangkat dan saat menjalani kemotherapy itu justru ia mendapat tawaran menjadi kepala sekolah di sebuah sekolah berwawasan internasional di Bintaro.
Di situlah ia berhasil mengembangkan modul pembelajaran Bahasa Inggris yang efektif untuk anak-anak. Kini modul yang sudah disusun menjadi buku-buku “Fun with Phonics” dan “Get Smart with Phonics”, akan digunakan oleh sekolah tersebut dalam pengajaran Bahasa Inggris yang mendasar.
“Saya menolak menyerah pada keadaan,” ujar perempuan yang saya kenal selalu ‘fight’ habis-habisan jika punya niat baik yang akan diperjuangkannya.
Jumlah penderita kanker di Indonesia, dari tahun ke tahun meningkat tajam. Penyakit yang hingga saat ini belum ditemukan obatnya ini, terus saja menghantui masyarakat, terutama perempuan. Tercatat di data Dinkes Pusat, penderita kanker payudara di negara ini, mempunyai presentase yang tinggi, yaitu 43,3% kasus dari keseluruhan kasus kanker di negara ini, dengan presentase kematian sebanyak 12,9%.
Kanker payudara, dan kanker serviks, untuk saat ini merupakan momok paling menakutkan diantara perempuan. Yang sayangnya, deteksi dini kanker pada perempuan, seperti inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) untuk kanker serviks (kanker leher rahim), dan pemeriksaan payudara klinis (Sadanis) untuk deteksi kanker payudara, kurang diminati oleh masyarakat kita.
Banyak perempuan yang sudah ‘parno’ (paranoid) atau ketakutan duluan sebelum memeriksakan kesehatannya. Itulah mengapa, seringkali kasus kanker yang dibawa ke rumah sakit, sudah mencapai stadium tinggi. Jarang sekali ada kasus penyakit kanker yang terdeteksi dini, misalnya masih stadium awal atau stadium satu. Seringkali, mereka yang datang ke rumah sakit, sudah berada di ambang serius seperti kanker dengan stadium lanjut (stadium tiga-stadium empat).
Kesadaran masyarakat kita, untuk datang secara sukarela ke rumah sakit, atau ke klinik kesehatan untuk sekedar check up kesehatan, masih amat sangat minim. Meski banyak sekali program-program kesehatan gratis sekalipun, guna deteksi kanker dini.
Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementrian Kesehatan, Mohamad Subuh, pemerintah sudah mengeluarkan biaya sebesar Rp. 2,1 Trilliun per September 2017, guna menanggung biaya pengobatan penyakin kanker di negara ini. Dengan catatan kasus penyakit sejak awal tahun 2017 saja.
Biaya ini sebenarnya bisa ditekan, jika saja masyarakat mau sadar kesehatan. Bukan hanya dengan menjaga pola hidup sehat, tapi juga rutin memeriksakan kesehatannya ke balai kesehatan terdekat, hingga penyakit yang ada di dalam tubuh, bisa terdeteksi sejak dini. Dan dengan dengan deteksi dini, kita bisa mencegah ataupun mengobati penyakit sebelum penyakit tersebut memburuk.
Kita perempuan, sebaiknya sudah mulai sadar akan hal ini. Apalagi para perempuan, yang sudah memasuki masa produktif. Karena masa produktif, adalah masa yang paling rawan bagi para perempuan untuk terkena kanker. Sadari sejak dini, kenali sejak dini penyakit yang ada di dalam tubuh kita, akan lebih baik bagi kita, daripada terlambat menyadari, tentang sakit yang kita alami.
Web kolaboratif, konten adalah tanggung jawab penulis (Redaksi)